Di sini riwayat berakhirnya seribu sesak Primaning..
Kumengasap terbang jubah terbabang di tengah-tengah geriak burung-burung pungguk kuar liar..
Aku bertanya, senasibkah burung-burung itu denganku dengan mata kuak tajam tanpa getaran bahagia lahir dari hawa hati yang senang?.. Kumengasap terbang menjelma angin merogoh cerobong sebuah rumah...
Seorang wanita berdengar lilin-lilin merah wangi, tujuh patung. Kucing kuning mungil untuk sembuhkan rusak dadanya tersibak...
...Wanita itu Wanita itu... ...Adalah daku Adalah daku... ...yang punya
Berpotong-potong kesukaran hidup bertalu-talu berulang-ulang.. Sepanjang jantung bekerja... Tanpa jeda.. Membeli sebungkus senyum palsu... Daku adalah...
Roh Primaning Lituhayu... Yang sedang memperkedok angin, mampir ke masa dahulu.. Waktu aku masih tersesat dalam tumpukan kemasygulan di bumi...
Ia berdengar nandung-nandung musik lama yang berumur... Puluhan warsa untuk sembuhkan rusak dadanya tersibak, tapi malah lebih rusak..
Mengunyah sepiring kroketten Hidangan kentang sekentang hidup yang berintang-rintang ruangan remang-remang sambil komat-kamitkan mantra putih buih tujuh lembar sayap merpati..
Tujuh limpit kelopak wungu.. Tujuh rebas air gunung terlarang tanpa nama gadis kecil, gadis kecil, kusebat kepanganmu.. Kepanganmu setan ular gehenna...
Aku pulang dari si bumi ke rangkap ke tujuh langit segempal kroketten berkandung warangan memakbuli wanita itu sudah buang nyawa. Sekarang dadanya tak lagi rusak, tak pula hatinya remuk..